Hal Tajdid: Dari Bedug
sampai Anjing
Posted in Dari Bedug sampai Anjing, Esai Cak Nun, Esai Emha, Hal Tajdid, Kolom
Cak Nun, Kolom Emha
Seorang Muballigh muda Muhammadiyah pernah datang ke desaku untuk tampil secara
mengagumkan dan mempesona dalam suatu pengajian. Dengan nada keras, penuh
semangat dan kefasihan, ia menyodorkan kejutan-kejutan.
Diuraikan tentang keharusan membawa kembali Islam seperti aslinya ajaran
Muhammad Shallallahu’alaihi wasallam. Khurafat, tahayul, bid’ah, musti
dibuang jauh-jauh. Dan lagi, memeluk agama itu mustilah dengan menggunakan akal,
tak asal taqlid membabi buta saja, sebab akallah yang membedakan kita dari
segenap binatang.
Pasal pertama yang dibenahi ialah arah menghadap ketika salat. Bikinlah garis
shaf dalam masjid kira-kira 24 derajat condong ke utara, agar kita salat
menghadap ke Ka’bah, bukan ke negeri Somalia. Kemudian soal bedug: untuk apa
itu? “Sekarang ini setiap hidung punya jam”, katanya. Lantas, soal
puji-pujian musikal antara adzan dan iqomah. Lantas soal koor wirid sehabis
salat jamaah. Kemudian sekian hal lagi yang menyangkut perilaku keagamaan
sehari-hari.
Terkejutlah sekalian penduduk desa, dan merasa begitu kotor karena ternyata
selama ini melakukan hal-hal yang mungkin tak diridhai Allah. Memang, tajdid
pasal pertama Muballigh kita ini, tidak ilmiah; ia tak bawa kompas, sehingga tak
tahu bahwa posisi desaku memang sudah persis terarah agak miring ke utara, jadi
persis menghadap Ka’bah, juga masjidnya. Ini tentulah kekhilafan kecil:
Muballigh kita terlalu bergantung pada common-sense, lupa pada keperluan
“formal-survey” yang ilmiah.
Namun percayalah, bahwa kata-kata “ilmiah” atau “rasional” merupakan
“bayang-bayang baur” di benak orang-orang desaku, sehingga kegagalan pasal
pertama itu tak berarti gagalnya usaha tajdid yang ia lakukan. Sejak itu,
perlahan-lahan bedug dicopot, dipakai kayu bakar dan kulitnya dimasak.
Puji-pujian stop dan koor wirid lenyap. Orang-orang tua berwirid
sendiri-sendiri, sementara anak-anak muda dan anak-anak kecil menyelenggarakan
tradisi lamcing: habis salam, plencing pergi.
Tak Bisa Berpicing Mata
Sayang sekali Muballigh kita itu cukup sekali saja datang ke desa untuk membawa
“SK Tajdid” dari Pusat itu. Hampir tak ada proses internalisasi lebih lanjut
yang melibatkan para penduduk perihal pemurnian Islam, menggasak bid’ah,
khurafat, tahayul dan seterusnya, dalam arti suatu internalisasi di mana mereka
diajak untuk aktif rasional.
Apa yang kemudian terjadi, adalah situasi “yaskhor qoumun min qoumin” dalam
suatu iklim yang “politis”. Pertarungan bendera antara Muhammadiyah dengan
NU berlangsung dengan lucu, naif, jumud dan memalukan, sehingga biarlah terkubur
di gundukan-gundukan tanah masa silam. Yang mungkin agak kurang menyedihkan
untuk dikisahkan ialah terjadinya “reuni” sekian tahun kemudian. Karena
sakit oleh berbagai kebodohan bersama, tak krasan oleh banyak retak-sosial yang
begitu kampungan dan menyangkut hal-hal amat sepele, maka bendera-bendera itu
pun diturunkan. Sampai kini, penduduk desaku hidup dalam Islam yang tanpa
embel-embel lain: meskipun tetap selalu ada beda faham di sana-sini, tapi tak
sampai terjebak oleh formalisme-formalisme aliran, yang bukannya salah, tetapi
penduduk desaku belum siap meng-hadapi “keorganisasian madzhab” yang ketika
sampai di desa telah tinggal kerangka.
Kabarnya, hantu kerangka itu muncul; karena mekanisme tajdid yang dibawa oleh
organisasi-organisasi pembaharu itu kurang diterapkan dengan mempertimbangkan
faktor-faktor sosiologis-kultural masyarakat yang berbeda-beda. Faktor itu yang
menunjukkan kepada kita bagaimana persuasi yang diperlukan untuk mereduksi
sesuatu hal dari lingkaran tradisi suatu komunitas; bahkan seberapa benar
sesuatu itu perlu direduksi atau tidak. Sebab, untuk menilai terjadi tidaknya
bid’ah atau tahayul umpamanya, kita tak bisa menilainya dengan berpicing mata.
Apalagi kita tahu persis bahwa proses internalisasi keagamaan dalam masyarakat
tradisional seperti di desaku, mengandung susunan-susunan saling berkait antara
berbagai unsur kompleks dalam hidup mereka. Kita harus menatapnya dengan jeli,
agar tak terjebak oleh term berpikir yang sering kita anggap ilmiah: membedakan
sisi kehidupan agama dari kehidupan sosial, ekonomi, budaya dan lain-lain.
Padahal, agama bukanlah sektor, melainkan pedoman nilai dari Allah yang memberi
watak, sifat dan arah tujuan semua kegiatan hidup kita, ya politik, ya ekonomi,
ya sosial budaya.
Kerangka di atas juga muncul, disebabkan karena dalam tubuh suatu organisasi,
biasanya ada berlaku hukum pelunturan nilai. Artinya ada distorsi kualitatif
yang terjadi antara pucuk dengan lapisan atau sendi-sendi di bawahnya. Hal ini
merupakan akibat yang khas dari aksentuasi sikap kita untuk menjadi
“tabi’iin” atau “taabi’it-taabi’iin” belaka dan kurang
mengaktivisir keharusan-keharusan lain, umpamanya untuk biasa berpikir sendiri,
menimbang-nimbang sendiri dan seterusnya dalam menginternalisasi Islam. Ada
begitu banyak afalaa ta’qiluun, afalaa fatadabbaruun, afalaa tatafakkaruun,
namun ma’rifat kita belum terbuka benar. Bukan terutama karena Allah belum
berkenan membukanya, tapi kita umumnya memang kurang berminat sungguh-sungguh
untuk membuka mata. Walaqad yassarnal Qur’ana lidz-dzkri fa hal
min-muddakir…. — Oleh sebab itu, kita tak boleh terkejut apabila menjumpai
tak sedikit “agents of innovation” dari suatu organisasi pembaharu ternyata
juga hanya penganut-penganut, yang meskipun tak buta betul, tapi setidaknya tiga
perempat buta. Kalau kita mau jujur dan rendah hati: dalam kondisi seperti itu
tak mustahil di tengah percaturan pemikiran tajdid, kita terjebak oleh suatu
isyarat Allah yang secara verbal sesungguhnya dimaksudkan untuk orang-orang
kafir: innalladzina yujaadiluuna fii aayaatillaahi bighairi sulfhaanin ataahum
in fii shuduurihim illaa kibrun maa humbibaalighiihi…. Sebab, kita mafhum ayat
Allah bukan hanya yang tertera verbal dalam AI-Qur’an — “sanuriyahum
aayaatina fil aafaaqi wa fii anfusihim….” — benarkah tak mungkin kita
termasuk dalam golongan orang yang dimaksud oleh Allah itu? Misalnya, karena
tanpa kita sadari, bahwa kita telah terlibat dalam suatu kufuran intelektual,
tertentu? Yang jelas, kita mesti siap untuk suatu hari menyaksikan kenyataan
bahwa yang perlu ditajdid itulah yang jadid, dan ternyata yang mujaddid itulah
justru perlu ditajdid.
Semoga, hal ini tidak terjadi, namun, baiklah kita berwaspada, sebab segala
sesuatu bisa masuk ke dalam diri kita, juga setan dan pengaruh-pengaruh apa
pun.
Di desaku pun sangat mungkin terjadi hal semacam itu. Atau barangkali kita
sekaligus mengandung kedua-duanya: yakni hal yang perlu ditajdid serta hal yang
mendorong kita untuk melakukan tajdid. Jadi agaknya masyarakat pertama yang
mesti ditajdid ialah diri kita sendiri, sementara semangat tajdid juga
pertama-tama mesti diri kita sendiri yang memiliki.
Kiai Beli Anjing
Ada satu tajdid yang lucu di desaku, yang menyadarkanku bahwa ternyata
kekentalan hubunganku dengan penduduk desa masih amat kurang . Tersebutlah
seorang Kiai yang haus akan tajdid, sehingga selalu sibuklah ia mengembarai
berbagai lapangan faham Islam. Sayang sekali, landasan kehausan tajdidnya bukan
suatu sikap mandiri yang mementingkan penggunaan akal sehat dan kebersihan hati
serta keluasan wawasan. Dalam pengembaraanya itu, ia selalu hanya terseret-seret
belaka oleh satu faham ke faham lain. Begitu terjadi berulang-ulang, dan hasil
pengembaraannya itu biasanya langsung diungkapkan lewat khutbah-khutbah Jumat
atau pada kuliah subuh — kesempatan satu-satunya ia bersedia bertatap muka
dengan khalayak.
Pertama menjadi bingunglah para jamaah karena diombang-ambingkan. Tapi lama
kelamaan hal itu menjadi komedi. Orang jadi “hapal” lagak lagu sang Kiai dan
tak begitu gampang terpengaruh. Menjelang salat Jumat, bahkan orang-orang saling
bercengkerama dan meramal apa kira-kira yang akan diomongkan oleh sang Kiai. Hal
yang digasak adalah hal yang biasanya kemarin didukung. Apa yang hari ini di
gembar-gemborkan, bulan depan mungkin akan digasaknya kembali. Dari satu sudut:
itulah potret dari semangat pembaharuan yang dinamik, penuh gelombang dan
kontinyu. Tapi dari sisi lain, itulah gambaran dari sebuah pribadi yang
mengembara di atas udara, tanpa pijakan, tanpa akar dan tanpa aktivitas akal
sehat dan kematangan kejiwaan.
Memang jamaah tak begitu terpengaruh, tapi untuk hal-hal yang menyangkut
“gengsi modern”, orang desa amat gampang terseret. Merangsang mereka untuk
mengkonsumsi “identitas-identitas kemodernan”, semudah makan kacang bakar.
Jadi ketika berkat suatu usaha tajdid, sang Kiai membeli dan memelihara anjing,
maka segera inovasi ini diikuti oleh puluhan orang. Hari ini di satu jalur jalan
saja ada kira-kira 40 anjing. Memelihara anjing itu betul-betul kenikmatan baru:
“Kayak yang di tv!” Ini suatu ironi besar, karena dulu penduduk desa adalah
pembenci, bahkan pembunuh anjing. Ada seekor saja nongol di desa, mampuslah
ia.
Aku sendiri belum memberi tanggapan cukup jauh terhadap hal ini, karena harus
ditemukan persuasi yang tepat untuk membereskan sesuatu di desa. Aku tidak anti
anjing, tapi ada konteks yang tak beres dengan tajdid peternakan anjing itu.
Suatu hari, aku mengobrol saja dengan salah seorang penduduk. Hakim paling kuat
untuk Muslim desaku ini ialah ukuran halal-haram. “Kata Pak Kiai memelihara
anjing itu tidak haram,” ungkapnya. Jadi itulah sumbernya.
Kucoba kemukakan kepadanya: memelihara anak yatim itu bukan hanya tak haram,
bahkan penuh pahala dan keluhuran. Padahal biayanya tak lebih mahal dari
memelihara seekor anjing, sementara seorang anak yatim bisa memberi kita manfaat
dan kekayaan spiritual yang tak bisa kita peroleh dari buih mulut anjing.
Memelihara anjing memang boleh-boleh saja, seperti juga kita boleh siang hari
bolong merangkak dari gardu sini sampai ke depan rumah Pak Lurah di ujung sana.
Tapi, agama bukan sekedar soal boleh dan tak boleh. Halal-haram itu garis batas,
yang tidak kita injak atau harus kita hindari. Seperti main sepakbola, ada garis
pinggir, ada garis untuk penalty dan offside, juga tangan kita termasuk
“daerah haram” untuk bola.
Tapi, masalah sepakbola yang paling utama ialah bagaimana bermain bola secara
baik, bukan bagaimana tak memegang bola atau berlari menginjak garis pinggir.
Garis batas itu menjadi wilayah permainan kita, namun yang penting ialah
bagaimana mengolah suatu permainan yang baik. Engkau tidak diharamkan main sepak
bola sambil pakai peci atau sambil makan ketela, tetapi kita punya akal yang
mengukur manfaat dan mudharat. Untuk itu, maka kita bermain pakai celana pendek
dan bukan sarung. Memahami mana garis batas dan liku-liku peraturan main bola
tidak sukar, dan yang terutama kita usahakan bagaimana mentalitas bermain,
bagaimana teknik dribbling pribadi serta metode kerjasama sosial, bagaimana
menemukan “taqarrub” terhadap gawang secara baik sehingga kita menang dan
gol kita ciptakan dengan menggetarkan jaring-jaring surga. Itulah sepakbola
hidup.
la kemudian mengemukakan anjing itu nanti bisa dijual kembali dengan harga yang
lebih mahal. Jadi pertimbangan ekonomi. Maka kuingatkan bahwa kita dulu punya
tradisi ternak kambing — kerbau — sapi. Sekarang ini, kambing atau sapi
lebih menguntungkan dibanding anjing. Dan lagi, apakah penduduk desa kita ini
akan menjadi pendorong pertumbuhan manusia-manusia pemakan anjing? Baiklah
teruskan dan kelak orang di sana berkata: Di mana cari anjing untuk pesta kita?
O, di Mentoro pusatnya!
Tapi ia kemudian mengemukakan soal segi keamanan. Anjing cepat memberitahu kita
kalau ada pencuri. Apakah engkau melatihnya untuk itu? Tidak. Dan orang-orang
lain? Tidak juga. Kukemukakan kepadanya bahwa seorang Muslim yang Islamnya baik
Insya Allah terhindar dari bahaya seperti itu. Setiap saat, nafas dan detak
darah kita bisa kita biasakan memohon kepada Allah, “Bismillahi laa yadhurru
ma asmihii syaiun fil-ardhi walaa fissamaa-i wahuwassamii ‘ul-‘aliim.”
Tirulah Ayyub yang berkata, “Innii masanidha-dhurru wa-anta
arhamur-roohimiin”. Semoga Allah pun berkehendak fastajabnaa lahuu,
fakasyafnaa maa bihii mindhurrin. Atau, kenapa tak kita lingkari lingkungan
hidup kita dengan ayat Kursi atau banyak sekali ayat lainnya? Kita sudah baca
shalawat untuk Nabi tiap hari, bukan? Nah, kita perbanyak jumlahnya dan kita
perdalam kekhusyukannya. Semoga Nabi pun mengirim salam kepada kita karena
beliau adalah “….rasuulunmin-anfusikum aziizun ‘alaihi ‘anittum
hariitsun ‘alaikum bilmu’miniina ra’uufur-rahiim….” Atau dengan begitu
banyak lainnya Ayatullah yang maha sakti, yang apabila ia dibacakan maka
“….suyyiratbihil-jibaalu au quthi’atbihil-ardhu au kullima
bihilmautaa….”
Tidak percayakah Saudaraku akan kesaktian mukjizat AI-Our’an? la tidak hanya
sakti segi kesastraannya saja, tapi juga sakti dan maha benar segala dimensinya.
la adalah karya Allah, sehingga segala yang difirmankanNya laa raiba fiihi.
Bahkan api tak membakar Ibrahim, bahkan hujan diperkenankan turun oleh
Istisqa’ kita bersama. Tak ada yang mustahil bagi-Nya. Kalau ia mau:
“….maa amarnaa illaa waah idafun kalahmin bil-bashor….”
Cuma, kita bukan makhluk manja. Kita bukan pengemis yang tak punya otak atau
rasa malu. Untuk urusan kacang goreng atau masalah — masalah rasional kecil
lainnya tentulah kita bereskan sendiri secara manusia.
Kita tidak lantas meminta agar segala urusan kita Allah yang mengurusnya. Kita
bukan anak sekolah yang kurang belajar maksimal dan hanya mengandalkan doa dan
sesudah terkabul lantas lupa bersyukur.
Dan lagi, segala sesuatu ada syaratnya. Kita tidak bisa hanya mentamengi diri
dengan mukjizat AI-Qur’an apabila secara keseluruhan AI-Qur’an tak kita
laksanakan nilainya. Tanpa mematuhi AI-Qur’an berarti AI-Qur’an “enggan”
menyatu dengan kita, atau kita tak cukup bersih untuk menyatukan diri dengan
AI-Qur’an, dan dengan demikian kita juga tak bisa menghayati kesaktian
ijaznya. Kesaktian magis puncak ayat AI-Qur’an itu ibarat genteng yang
melindungi seisi rumah kita dari hujan. Artinya, kita tahu bahwa genteng tak
bisa kita taruh di udara. Mesti kita bangun fundamen, dinding, kayu penyangga
genteng itu, serta tiang pusat. Nah, kukemukakan kepada Saudaraku di desa itu
bahwa umumnya kita di desa ini sudah cukup membangun fundamen, tiang pun sudah
cukup berdiri, tinggal kita sempurnakan kekuatannya semua, sehingga bisa kita
taruh genteng untuk melindungi kita dari hujan. Jika demikian, maka Insya Allah
kita bukan saja terhindar dari pencuri ayam, tapi juga segala pencuri yang lebih
bermutu, bahkan dari sihir dan fitnah. Kenapa tidak? Allah Maha Benar bahwa Dia
Maha Melindungi. Cuma barangkali saja di dalam diri kita ayat-ayat Allah itu
masih berupa tumpukan genteng yang mubazir, karena kita tak menggunakan
hikmahnya.
Artikel Kiriman : Cak Uday
Email :
rohXXXX@gmail.com